Wednesday, October 10, 2007

TAMBORA 95 YANG HILANG.... :_(

(Ditulis pada bulan Agustus 2007)

Setelah bersepeda menempuh waktu yang cukup lama, aku tiba di Dompu. Aku langsung menuju rumah Ir, temanku dari Humpa Dompu. Tujuanku cuma satu, yaitu mengambil golokku yang tertinggal tahun lalu. Hari itu aku menginap semalam di rumah ir....... Esoknya, pagi jam 7, aku pamit dan langsung mengayuh sepedaku menuju Desa Pancasila yang berjarak sekitar 120 km, yaitu sebuah desa terakhir untuk mendaki Gunung Tambora.

Tak aku sangka, ternyata jalan yang kulalui merupakan jalan yang hancur dan bukan untuk sepeda macam milikku. Sebuah sepeda yang tak memiliki shock dan hanya memiliki ban yang diperuntukkan jalan raya yang mulus, Akupun cuma pasrah dan banyak berdoa agar perjalananku melewati jalan yang rusak parah itu bisa aku lewati tanpa kendala. Suasana yang sepi dan melewati desa yang jarang membuatku kesepian namun masih merasakan kenikmatan berpetualang. Apalagi aku harus melewati jalan yang sepi, yang kanan kiri merupakan padang rumput yang seperti tak ada batas dan itu menjadikan aku seperti di tanah Afrika seperti yang aku lihat di TV.

Setelah melewati jalan rusak dengan penuh kesabaran jam 16.30 aku tiba di Calabai. Lalu aku mencoba singgah di sekre gamping sebuah wadah anak desa yang hobi naik gunung. Aku berkenalan dengan Haris dan aku dibawa menuju tempat kerjanya yang merupakan bekas perusahaan legal logging yang pailit kalah dengan perusahaan illegal logging. Haris disini bekerja sebagai tenaga keamanan yang bertugas malam hari. Perusahaan ini memang sudah mati total, namun aset perusahaan yang berupa bangunan2 dan sebagian alat kerja masih ada dan harus dijaga. Perusahaan loging ini berkantor di Jakarta di daerah Rasuna Said Kuningan, dan perusahaan menunjuk Mr. Hendri untuk menjaga aset perusahaan yang ada di Calabai itu.

Harispun mengenalkan aku pada Mr. Hendri, seorang kebangsaan Skotlandia yang ramah dan bersahabat. Dalam berkenalan aku bisa merasakan persahabatan yang tulus darinya. Bahkan saat aku tidurpun aku dipersilakan tidur di ruangan yang bersih dengan kasur yang empuk dan kamar mandi yang bersih pula. Sungguh, seorang bule yang takkan aku lupa di tanah Calabai sumbawa itu.

Esoknya aku pamit pada Mr. Hendri dan Haris untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Pancasila yang memakan waktu 2 jam bersepeda. Tiba disana aku menuju KPATA, sebuah wadah tempat anak2 muda desa yang berprofesi sebagai guide, namun mereka menamakan pecinta alam, aneh...

Aku menemui Saipul yang merupakan ketua kpata, akupun mengutarakan maksudku untuk mendaki Gunung Tambora. Dia menceritakan kondisi jalur Tambora yang tak mungkin didaki sendiri karena mempunyai jalur yang bercabang dikarenakan banyaknya jalur loging dan pemburu. Siapapun yang belum pemah ke Tambora tak akan mungkin bisa mengikuti jalur yang benar karena tidak adanya anak panah atau petunjuk.

Mendengar itu aku mencoba melobi minta bantuan anak kpata untuk mengantar, namun aku tidak bisa membayar guide dan hanya bisa menjamin logistik selama pendakian. Maklum aku bukanlah seorang pendaki yang mempunyai duit banyak. Lagipula Iwansunter cuma seorang pendaki miskin di Indonesia.

Setelah bicara panjang lebar, Saipul menyatakan tak sanggup dengan alasan semua anggota kpata sibuk. Apalagi untuk seorang guide pendaki harus bisa membayar 70 ribu perhari untuk pendaki lokal dan Rp100 s.d. 150 ribu untuk turis asing. Jadi kesimpulannya kpata tidak bisa membantu pendakianku yang sudah di depan mata dengan gratis.

Pendakian tambora sebenamya tidak sulit, kalau kita mendaki berangkat jam 5 pagi sore sebelum gelap sudah bisa mencapai puncak, begitu cerita teman-teman yang pernah aku dengar, karena ketinggian Tambora hanya 2851 mdpl dan posisi Desa Pancasila pun sudah berada di ketinggian yang lumayan. Jadi yang membuat susah mendaki tambora hanyalah jalur yang bercabang-cabang dan tidak mempunyai petunjuk. Dan hal ini memang sengaja tidak dibuat karena menyangkut mata pencaharian anak kpata. Akhimya, dengan terpaksa aku turun esok harinya menuju Calabai lagi untuk mencoba minta bantuan anak Gamping.

Di Gamping aku kembali utarakan maksud pendakianku dengan mohon bantuan teman Gamping sebagai partner menuju puncak, hanya satu orang... Namun temyata disinipun tidak ada satupun yang mau membantu. Mereka hanya menyarankan mendaki bersama 5 hari lagi dalam acara pendakian tujuhbelasan. Mendengar itu aku lemas dan tak menyangka akan menghadapi orang-orang yang tidak mempunyai jiwa persaudaraan sesama pendaki. Untuk menunggu 5 hari sangatlah tidak mungkin karena aku harus menyelesaikan perjalanan ini dengan cepat bukan untuk bersenang-senang. Lagipula di pendakian tujuhbelasan biasanya akan banyak sekali pendaki dan itu bukan tipe aku. Aku lebih senang mendaki dengan suasana yang sepi dan sunyi. Dan andai saja jalur pendakian tambora tidak mempunyai jalur yang bercabang niscaya aku pasti mendaki sendiri karena bagiku mendaki seorang diri adalah sebuah kepuasan dan hal itu bukanlah hal yang harus ditakuti.

Akhirnya, setelah aku merayu dengan argumen yang aku yakin benar dan penuh memohon, aku pun ditolak mentah-mentah. Mereka hanya mau mengantar andai sebagai guide. Dengan hati hancur aku pulang bersepeda lagi menyusuri jalan-jalan yang rusak untuk meninggalkan kaki gunung Tambora. Namun aku sempat menginap lagi 2 malam di tempat Mr. Hendri. HATIKU HANCUR TAMBORA HILANG WALAU SUDAH DIDEPAN MATA…!!! Kesimpulanku Tambora adalah gunung orang kaya, artinya kalau kita tidak mempunyai duit yang cukup janganlah mendaki tambora karena akan sia-sia andai tak mampu membayar guide, kecuali kita mempunyai teman akrab disana...

Rencana dan idamanku sejak tahun 1995 untuk medaki Tambora sia-sia dan gagal total. AKU BERSUMPAH TIDAK AKAN KEMBALI LAGI KE TANAH TAMBORA. SUNGGUH AKU SAKIT HATI.....! Untuk kpata dan gamping janganlah kalian mengaku sebagai pecinta alam atau pendaki gunung kalau tidak mempunyai jiwa persaudaraan dan kepedulian sesama pendaki, apalagi dengan pendaki miskin seperti aku yang untuk mewujudkan hasrat pendakian harus bersepeda dari Jakarta dengan menyusuri jalan sepanjang pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dan dengan melewati rintangan jalan yang amat rusak...

Untuk teman teman tercinta di tanah air yang ingin mendaki Tambora saranku janganlah ikuti jejakku karena mungkin akan mengalami hal yang sama seperti pengalamanku.

<Dari IWANSUNTER yang penuh air mata, pendaki paling miskin...Indonesia>

Friday, June 22, 2007

Di Puncak G Lawu, 13 Juni 2007



Inilah aku di puncak Gunung Lawu di Jawa Timur. Pendakian ini merupakan rangkaian perjalananku bersepeda seorang diri ke-4 dengan rute Jakarta - Bali - Jakarta selama 28 hari (start 23 Mei 2007 dan finish 19 Juni 2007)

Di Puncak G Ringgit Jawa Timur, 6 Juni 2007



Inilah aku di puncak Gunung Ringgit di Situbondo, Jawa Timur. Pendakian ini merupakan rangkaian perjalananku bersepeda seorang diri ke-4 dengan rute Jakarta - Bali - Jakarta selama 28 hari (start 23 Mei 2007 dan finish 19 Juni 2007)

Di Puncak G Batur Bali, 2 Juni 2007



Inilah aku di puncak Gunung Batur di Bali. Pendakian ini merupakan rangkaian perjalananku bersepeda seorang diri ke-4 dengan rute Jakarta - Bali - Jakarta selama 28 hari (start 23 Mei 2007 dan finish 19 Juni 2007)

Ekspedisi tahun 2003 di Sinar Harapan

Ekspedisi tahun 2004 di Sinar Harapan

Friday, June 15, 2007

Polygon Journey: Jakarta-Denpasar-Jakarta

Dikisahkan oleh Kuwats, pemonitor petualangan Iwansunter:

Day 18 : Iwan mengayuh sepedanya menuju kota Madiun dan terus menuju pinggir kota untuk menyambangi desa kelahiran kedua orang tuanya. Di pemakaman sebuah desa yang bernama Patihan, terbaring untuk selamanya jasad sang Ayah tercinta. Lepas tengah hari Iwan telah tiba di makam sang Ayah. Ia pun melepaskan rindu meski hanya untuk menatap gundukan tanah seraya memanjatkan doa. Malam hari, Iwan menginap di rumah sanak famili sang Ibunda.
Day 19 : Pukul 10 pagi Iwan meninggalkan desa kelahiran kedua orang tuanya untuk melanjutkan perjalanan. Menjelang sore hari, ia tiba di kota Solo dan langsung menuju ke asrama CPM -AD untuk menemui sahabat baiknya yang tinggal di sana sekaligus untuk menumpang bermalam.
Day 20 : Seharian penuh Iwan melepaskan lelah di kota Solo. Ia berencana untuk mendaki gunung Lawu, dengan menyertakan sepedanya hingga ke puncak, mulai esok hari. Hari ini ia pun sempat mengunjungi beberapa rekan petualang yang akan di kota tersebut.
Day 21 : Pagi ini Iwan mengayuh sepeda Polygon nya menuju kaki gunung Lawu. Ia sempat menuturkan bahwa jalur Tawangmangu-Cemoro Sewu terdapat tanjakan yang luar biasa. Jarak 1 km serasa 10 km, begitu keluhnya.
Day 22 : Hari ini tidak ada kabar apapun dari Iwan. Perkiraan saya, ia sedang mendaki gunung Lawu.
Day 23 : Sejak pagi hingga siang saya tidak mendapat kabar dari Iwan. Namun menjelang magrib ia mengabarkan bahwa ia tengah berada di pinggiran kota Solo. Ia menuturkan bahwa kemarin pagi ia mulai mendaki dan menginap di sekitar puncak gunung Lawu. Dan pagi hari tadi ia mulai menuruni gunung dan tiba di kaki gunung lepas tengah hari. Ini berarti pendakian gunung ini adalah pendakiannya yang ketiga (dengan menyertakan sepeda hingga ke puncak) dalam perjalanannya kali ini setelah gunung Batur dan gunung Ringgit.
Day 24 : Iwan menuturkan hari ini adalah hari pemulihan tenaga setelah energinya terkuras dua hari kemarin.

Friday, June 08, 2007

Polygon Journey: Jakarta-Denpasar-Jakarta

(dikisahkan secara singkat oleh Kuwats)

Selasa, 5 Juni 2007 merupakan hari ke-14 perjalanan Iwansunter. Pagi itu ia mengayuh dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi menuju kota Situbondo untuk memenuhi janji dengan seorang sahabatnya setelah beberapa hari sebelumnya ia menuntaskan misinya di Bali. Sore hari, ia bersama Handoko, Ketua Mapala Baluran Univ Abdurrahman Saleh menuju pos pendakian di kaki gunung Ringgit yang terletak di sebelah barat kota Situbondo. Rabu pagi Iwan dan Handoko mendaki gunung Ringgit. Tentu saja dalam pendakian kali Iwan pun menyertakan sepeda Polygon yang ia kayuh selama ini. Menurut Iwan ia membutuhkan waktu sekitar 5 jam untuk mencapai puncak. Iapun menuturkan bahwa di gunung Ringgit terdapat tanjakan terjal yang mencapai sudut kemiringan hampir 90 derajat. Sedemikian terjalnya, di tebing tersebut telah tersedia tali yang dapat digunakan para pendaki sebagai alat bantu demi keselamatan. Menjelang magrib, Iwan dan Handoko telah berada kembali di kaki gunung Ringgit.

Kamis pagi pukul 10, Iwan kembali melanjutkan perjalanannya menuju Jakarta. Jalur pulang yang ia tempuh adalah jalur selatan pulau jawa. Hari itu ia melahap jarak Situbondo – Probolinggo. Malam hari ia menginap di Mapala Marabunta Univ Pancamarga.

Jumat, 8 Juni 2007, yang merupakan perjalanan hari ke-17 Iwan meneruskan perjalanan menuju arah Madiun. Ia memang mewajibkan dirinya untuk selalu singgah di sebuah desa di pinggiran kota kelahiran kedua orangtuanya. Terlebih lagi, sejak kepergian sang ayah tahun lalu, Iwan merasa sangat harus mengunjungi makam ayah yang sangat ia cintai. Perjalanannya hari ini hanya menempuh jarak Probolinggo – Kertosono. Iwan menuturkan bahwa saat ia melalui jalur Jombang – Kertosono, ingatannya menerawang ke masa dua tahun yang lalu, saat ia menuntaskan misi perjalanan bersepeda seorang diri untuk pertama kali dengan jarak Jakarta – gunung Rinjani, Lombok – Jakarta. Malam ini ia menumpang menginap di Pos Polisi Baron, Jawa Timur.

Polygon Journey: Jakarta-Denpasar-Jakarta

(dikisahkan secara singkat oleh Kuwats)

Jumat siang, 1 Juni 2007, Iwan telah memasuki kota Denpasar. Kedatangannya di sana telah dinanti oleh seorang sahabat baiknya, Toto Totog alias Toto Tapalnise. Perjalanan bersepeda Iwan kali ini memang juga diperuntukkan sebagai ajang “melunasi janji” Iwan kepada Toto untuk melakukan pendakian bersama gunung Batur. Iwan tidak akan pernah melupakan pertolongan yang diberikan Toto kepadanya tahun lalu. Sekedar flash back, tahun lalu saat Iwan tiba di kota Larantuka yang merupakan kota ”ujung timur” sebagai target perjalanannya bersepeda, Iwan mendapat berita tentang kepergiaan sang ayah untuk selama-lamanya. Sulit dipercaya, hari itu juga Iwan bisa tiba di pinggir kota kecil Madiun untuk menemui jasad sang ayah yang siap untuk dimakamkan. Yang pasti, pertolongan demi pertolongan diperoleh Iwan saat itu, termasuk pertolongan dari Toto.

Sabtu pagi, Iwan dan Toto menuju ke kaki gunung Batur di pulau Bali. Iwan tetap menggunakan sepeda Polygonnya sedangkan Toto mengendarai sepeda motor. Saat mendaki gunung Batur, Iwan tetap menyertakan sepedanya hingga ke puncak gunung tersebut. Bila saya tidak salah, ini berarti adalah gunung ke-3 yang ia daki dengan menyertakan sepedanya hingga ke puncak, setelah gunung Rinjani di tahun 2005 dan gunung Sinabung di tahun 2006.

Minggu pagi Iwan dan Toto kembali menuruni gunung Batur. Perjalanan cukup melelahkan mengingat Iwan harus membopong ranselnya dan sekaligus, secara bergantian, membopong sepedanya.

Senin pagi Iwan kembali melalukan perjalan menuju Jakarta. Saat saya hubungi sore tadi, ia sedang berada di kapal feri yang membawanya menyeberangi selat yang menghubungkan pulau Bali dengan pulau Jawa. Malam ini ia berencana menginap di kantor pelabuhan di Banyuwangi. Menurutnya, esok ia akan mengayuh sepedanya menuju kota Situbondo dan akan memenuhi janji dengan seorang temannya di sana untuk mendaki gunung Ringgit. Tentu saja dengan menyertakan sepeda Polygon hingga ke puncak.

Wednesday, May 30, 2007

Bersepeda Seorang Diri IV

Hari ke-1, 23 Mei 2007:
Berangkat dari Sunter Jakarta Utara. Sore tiba di Subang. Nginap di Polsek Patokbesi.
Hari ke-2, 24 Mei 2007:
Berangkat dari Subang pagi hari, tiba di Cirebon sore. Menginap di Kantor Balai Diklat Keuangan Cirebon.
Hari ke-3, 25 Mei 2007:
Berangkat dari Cirebon pagi hari. Tiba di Pekalongan menjelang sore.
Hari ke-4, 26 Mei 2007:
Rute Pekalongan - Semarang.
Hari ke-5, 27 Mei 2007:
Berangkat dari Semarang jam 7 pagi. Jam setengah 6 sore tiba di Kecamatan Purwosari, Bojonegoro.
Hari ke-6, 28 Mei 2007:
Berangkat dari Kecamatan Purwosari, Bojonegoro pukul 6 pagi, tiba di Surabaya jam 4 sore. Sempet nyasar di kota pahlawan tersebut. Nginep di Mapala Pataga, Untag.
Hari ke-7, 29 Mei 2007:
Berangkat dari Surabaya agak siang, pukul 9. Tiba di Probolinggo jam setengah lima. Nginap di Mapala Marabunta, Univ Pancamarga.
Hari ke-8, 30 Mei 2007:
Berangkat dari Probolinggo pukul 9. Sempet kena hujan di daerah pasir putih. Tiba di Situbondo pukul 5. Rencana menginap di Mapala Baluran, Univ Abdurrahman Saleh.

Thursday, May 24, 2007

BERSEPEDA LAGI....

Rabu pagi, 23 Mei 2007, kumulai kembali perjalananku bersepeda seorang diri. Sepeda Polygon type unitoga pemberian sponsorship menemani perjalananku kali ini. Sebenarnya perjalanan kali ini "hanyalah" mengulang perjalanan-perjalananku sebelumnya sekaligus "membayar" janjiku pada Toto sahabatku di Bali. Juga, perjalanan ini adalah perjalanan penghibur diri setelah aku tak berhasil mendapatkan sponsor untuk mendanai rencana petualanganku di tahun 2007 yaitu bersepatu roda Jakarta-Surabaya dan bersepeda plus ndaki gunung pada perjalanan Jakarta-Bali.

Bermodalkan sepeda sponsor dan uang dua ratus ribu perak pemberian pak Lurah Sunter Agung serta beberapa item dari Avtech kumantapkan tekadku untuk tetap melaju di jalan raya dengan kayuhan. Targetku kali ini adalah bersepeda dari Jakarta menuju Denpasar Bali, pulang pergi. Rencananya, sesampai di Bali nanti aku juga akan mendaki gunung Batur. Dan dalam perjalanan pulang nanti, ku kan daki pula gunung Merbabu di Jawa Tengah.

Kuberharap pada akhir Juni aku sudah bisa tiba kembali di Sunter Jakarta Utara. Tawaran perjalanan dari seorang rekan untuk kegiatan sosial telah menantiku di awal bulan Juli.

Ya Allah...lindungi aku dalam perjalanan ini.....

MALLORY-KU

Tanggal 22 Februari 2004 aku “menakdirkan” diri ke Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus Lampung Selatan yang berada di kaki Gunung Tanggamus untuk mendaki Gunung Tanggamus (2132 mdpl) dalam rangkaian perjalananku mendaki 15 gunung pulau sumatera. Gunung Tanggumus merupakan gunung ke-13 dalam perjalanan kali itu.

Kemarin, tanggal 10 Mei 2007, aku “ditakdirkan” untuk kembali menginjak Kecamatan Gisting. Namun kali ini bukan untuk mendaki Gunung Tanggamus melainkan untuk menyaksikan lahirnya anak pertamaku di Rumah Sakit Panti Secanti Gisting. Kuberi nama anak laki-lakiku itu: George Leigh Mallory yang kuambil dari nama pendaki legendaris Everest asal Inggris yang hilang di tahun 1924. Mallory adalah sosok seorang pendaki yang penuh ambisi serta mental dan keberanian yang dahsyat. Selain Mallory, pendaki lain yang juga menjadi idolaku adalah Reinhold Messner, sang Dewa Gunung asal Italia.

Pilihanku memilih Mallory untuk kusandangkan nama tersebut pada anakku semata-mata karena aku lebih “feeling” kepadanya. Aku kagum padanya lantaran ia merupakan pendaki tahun 1920-an yang menghajar Everest sebanyak tiga kali dalam cuaca dan iklim yang masih perawan dan amat berbahaya. Dan saat banyak orang bertanya padaku tentang alasan pemberian nama Mallory pada anakku, kujawab, “because he born there” sambil kutunjuk kaki Gunung Tenggamus.

Bila saja anakku yang lahir tersebut berjenis kelamin perempuan, pastilah ia kuberi nama Inerie Cartensz Gasherbrum….

(Lampung, 11 Mei 2007)

Thursday, February 15, 2007

Awan Suci kah????


Sore ini (Rabu, 14 Februari 2007) sekitar pukul enam sore secara nggak sengaja mataku terarah pada sekumpulan awan putih yang disekitarnya bersih tanpa awan.
Hatiku langsung bergetar begitu ku tangkap sekilas awan tersebut membentuk tulisan nama Allah...
Aku nggak tau apakah memang awan itu membentuk tulisan seperti itu atau tidak. Namun yang pasti hatiku sontak mengucapkan takbir! Belum pernah kulihat kumpulan awan yang seperti itu.
Sejenak kemudian aku pun tersadar. Segera ku raih hape sony ericsson tipe K-700 yang senantiasa menemaniku. Ku bidikkan kamera build-in hape tersebut untuk sekedar mengabadikannya. Juga kusempatkan untuk merekamnya dengan fasilitas dari kamera tersebut.
Jujur...aku tak tahu bermaknakah ini semua bagi ku dan bagi kita semua????